Satu komentar yang cuma bisa saya ucapkan, Gak Nyangka! Sebenarnya sudah lama sekali keinginan bisa menjelajah di negeri Sakura itu, Alhamdulillah baru tahun ini bisa kesampaian. Berbekal pengetahuan dari blog para traveller yang pernah berkunjung ke Jepang sekaligus berbagi tips wisata murah ke Jepang, akhirnya disusunlah itinerary yang pas untuk perjalanan kami.
Dengan Dwita, sahabat sejak SMA saya sekaligus pemilik gerai kaos CakCuk Surabaya, dimulailah hunting tiket promo Air Asia selama beberapa bulan medio di awal tahun 2014. Perjuangan kami tidak sia-sia, kami mendapatkan tiket pulang-pergi dengan harga sangat miring di bulan Maret tahun depannya di 2015. Yup tahun depan, itu konsekuensi nya, maklum tiket promo sih ?.
Singkat cerita, jadwal keberangkatan kami pada tanggal 02 Maret 2015. Kami mengambil tipe jalur penerbangan open jaw, yang artinya kami tiba dari dan pulang ke tanah air melalui bandara udara yang berbeda kota.
Kami berangkat fly-thru dari Bandara Juanda Surabaya via Kuala Lumpur (KLIA2) dan tiba di Haneda International Airport, dan pulang secara fly-thru juga via KLIA2 ke tanah air dari Bandara Internasional Kansai (KIX).
Tiba di Haneda tepat pada malam hari pukul 23.00 waktu setempat. Jam selarut itu tentu saja kereta yang menuju ke Asakusa di Tokyo sudah berhenti beroperasi, maka kami berencana bermalam di airport dan naik kereta menuju Asakusa esok paginya.
Tokyo Adventure, HAJIMARU YO!
Jam 07.00 kami mulai berangkat dari Haneda langsung menuju Asakusa menggunakan kereta Keikyu Line. Pagi itu kereta sudah mulai dipenuhi oleh ribuan salaryman/woman yang hendak berangkat bekerja. Yang membuat saya sedikit geli adalah, model pakaian mereka hampir seragam, serba berwarna hitam. Beberapa diantaranya memakai masker penutup wajah, sepertinya sedang menderita batuk pilek. Mungkin karena pergantian musim dari dingin ke semi, banyak yang terserang penyakit di bagian pernapasan.
Di Asakusa, kami menginap di Grup Hostel Khaosan Tokyo, tidak jauh dari Sensoji Temple dan Stasiun Asakusa. Tujuan kami dimulai dari Sensoji Temple dan sekitarnya, terutama target khas adalah Nakamise Shopping Street yang katanya banyak dijumpai souvenir dan merchandise khas Jepang yang bisa dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Setelah berputar-putar untuk survei, harga yang ditawarkan relatif cukup mahal untuk kantong kami, jadi cuma beberapa barang saja yang bisa kami beli disana.
Ada alternatif belanja oleh-oleh yang harga-harganya cukup terjangkau, yaitu jaringan toko diskon “Don Quijote” atau untuk lidah orang Jepang disebut Donkihote. Salah satu gerai mereka letaknya pun tidak terlalu jauh dari Sensoji Temple.
Trip kami lanjutkan ke Ueno, sekaligus melihat-lihat salah satu ikon pasar di Tokyo, Ameyokocho, yang pernah menjadi lokasi syuting dorama “Ama-chan”, kebetulan saya penyuka seri drama buatan Jepang dibanding lainnya.
Dari Ueno, kami lanjutkan menuju gerai Starbuck Coffee di Tsutaya, Shibuya untuk bertemu dengan rekan Dwita, pasangan suami-istri Andry Irawan dari Banjarmasin yang kebetulan sedang berwisata juga di Jepang. Pemandangan dari Starbuck Tsutaya, ternyata Shibuya Crossing terlihat berbeda, tidak saya sia-sia kan untuk mendapatkan beberapa angle foto disana.
Setelah nongkrong sebentar, bersama mereka kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke area Harajuku. Sayangnya karena bukan weekend, di Harajuku tidak terlihat anak anak wanita yang biasa berkumpul sambil berpakaian unik ala gothic dan lolita. Karena berbeda tujuan tempat yang ingin kami kunjungi, akhirnya kami berpisah di depan Takeshita Street.
Menjelang malam yang sebenarnya masih belum larut, kami sempatkan berjalan-jalan sebentar ke Akihabara, sayang banyak toko yang sudah tutup, padahal jam di arloji masih menunjukkan pukul 21.00. Well, akan kami coba kemari lagi esok lusa di siang hari.
Windy Hakone
Esoknya karena sudah sepakat, kami beserta pasangan Andry Irawan, bertemu di depan Stasiun Shinjuku untuk menuju tempat wisata di Hakone. Tiket perjalanan wisatanya didapat dari Odakyu Line sebagai operator utama transportasi menuju area Hakone. Hakone adalah area wisata danau yang cukup jauh dari Tokyo, kalau bisa dihitung jaraknya seperti bepergian dari Surabaya ke Malang, dan dari sana kita bisa melihat puncak Gunung Fuji.
Perjalanan kereta dari Shinjuku lalu Stasiun Odawara hingga Gora sungguh memukau karena harus melalui tebing-tebing yang cukup curam. Dari Gora kami menaiki Tozan Cable Car, kereta yang unik karena di desain khusus miring, disesuaikan kondisi rel yang menanjak menuju Stasiun Sounzan.
Dari Sounzan kami menuju Owakudani menggunakan Hakone Ropeway. Wahana transportasi semacam gondola yang menegangkan, karena angin lagi bertiup cukup kencang, gondola yang kami naiki bergoyang-goyang agak keras ?. Turun di Owakudani pun kami sudah disambut tiupan angin yang cukup kencang, saking kencangnya beberapa turis wanita banyak berteriak karena harus memegang rambut dan barang bawaan mereka.
Naik sedikit menuju sumber air panas di lereng Gunung Owakudani, terdapat warung kecil penjual telur hitam atau Kuroi atau Kuro Tamago. Telur yang dimasak di sumber air panas hingga menjadi hitam (Kuroi), dijual seharga 500 yen untuk 4 biji, cukuplah untuk mengganjal perut di siang itu.
Perjalanan dilanjutkan kembali dengan menaiki Hakone Ropeway, sempat berfoto2 diatas gondola karena puncak Gunung Fuji mulai terlihat cukup jelas setelah hampir seharian tertutup awan. Perjalanan gondola berakhir di Stasiun Togendai, yang juga sebuah pelabuhan kecil nan asri di tepi Danau Ashi. Setelah menunggu dengan sabar sambil membeli snack, akhirnya kapal dengan desain ala kapal bajak laut mengantar kami menyeberang danau hingga pelabuhan Hakonemachi-ko.
Dari Hakonemachi-ko, kami mampir sebentar ke Gerbang (Torii) Merah yang ada di tepi danau depan Hakone Shrine. Karena hari sudah sangat sore dan kami cukup kelelahan, ditambah dengan hilangnya tiket terusan Odakyu Line Hakone saya ?, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Tokyo. Perjalanan kembali ke Stasiun Odawara untuk menuju ke Shinjuku menggunakan bus kota yang rupanya dikendalikan oleh supir bus yang lihai dan cukup kencang, kami harus berpegangan erat-erat supaya tidak terjatuh. Untensan, ki o tsukete Yo!
Setibanya di Stasiun Shinjuku, dan setelah berpisah dengan rekan dari Banjarmasin, kami sepakat untuk iseng jalan-jalan sebentar di area Shinjuku menuju red district Kabukicho. Menyusuri jalanan di Shinjuku, jadi teringat adegan dorama “Shinya Shokudo”, sayangnya warung nasi di dorama tersebut hanyalah fiksi belaka, andai saja ada mungkin juga cuma bisa lewat depannya doang.
Memasuki jalanan Kabukicho kami banyak ditawari “Sex Live Show” oleh beberapa pemuda penjaga tempat tersebut, apakah itu? Entahlah, kami hanya menolak dengan halus, tapi sempat ada rasa penasaran juga, hehehe.
The Talls and The Giants
05 Maret 2015, hari itu kami menuju ke Tokyo Skytree Tower, gedung pencakar langit tertinggi di Jepang menurut saya. Untuk naik ke Tembo Deck setinggi 350 M kami harus membayar 2060 yen. Pemandangan kota Tokyo dari atas sangat menakjubkan, selain itu terdapat berbagai cafe dan alat peraga mengenai sejarah Tokyo. Yang cukup membuat saya betah adalah layar sentuh besar yang menjelaskan detil gedung-gedung besar yang terlihat dari Tokyo Skytree.
Oke oke, Tokyo Skytree sangat istimewa, penjelajahan kami lanjutkan ke Akihabara (lagi) karena masih penasaran kondisi disana pada siang hari. Manga dan Anime, menghiasi hampir seluruh deretan toko di Akihabara. Saya sudah bisa bayangkan bagaimana reaksi pecinta manga dan anime di tanah air jika berada di area ini, bakalan histeris 100%.
Kami juga menyempatkan diri untuk masuk ke gerai Don Quijote di Akihabara, sayang barang-barang yang dijual tidak sekomplit seperti gerai mereka yang ada di Asakusa, bahkan ada satu lantai dikhususkan untuk penjualan merchandise dari girl band idol AKB48 ?.
Kemudian kami lanjutkan ke Odaiba, area pusat bisnis yang dibangun diatas tanah reklamasi di Teluk Tokyo. Kami banyak mengambil foto Rainbow Bridge dan mini Liberty Statue dari depan Odaiba Aqua City, dan tidak lupa juga patung Gundam skala 1:1 di depan gedung DiverCity Plaza yang wajib didatangi di area Odaiba.
Yang tak disangka adalah pohon-pohon sakura disana sudah mulai berbunga. Meski masih berwarna merah muda, kami sungguh bersyukur bisa melihat dari dekat bunga sakura yang menjadi simbol negara Jepang, Alhamdulillah. Perjalanan diakhiri menuju Tokyo Tower, menara yang dulu menjadi ikon penting kota Tokyo, mungkin kini agak tersisihkan oleh keberadaan Tokyo Skytree.
Esoknya, setelah check out dari hostel dan berbelanja oleh-oleh dari Donkihote (Don Quijote) Asakusa, kami bergerak menuju ke Imperial Palace. Sebenarnya sinar matahari bersinar dengan cerahnya hari itu, tapi karena udara masih bersuhu 7-9 derajat celsius, sepertinya masih tidak bisa lepas dari jaket tebal kami, cukup merepotkan juga. Dari Imperial Palace berjalan kaki menuju area Ginza, hingga sampai di Tsukiji Market sejenak menikmati dadar telur yang rasanya manis, ya manis bukan asin seperti yang yang biasa saya kenal.
Hari menjelang sore, setelah mengambil tas koper dari Coin Locker di Stasiun Ginza, kami berangkat ke Ikebukuro Sunshine City, dimana terminal bus tempat kami memesan bus malam menuju Kyoto ada disana. Perjalanan ke Kyoto menggunakan Willer Express Bus, sengaja kami tidak menggunakan kereta Shinkansen, karena untuk menghemat akomodasi hotel, yaitu dengan menginap satu malam di atas bus. Serba hemat yah.
Kyoto, Love at The First Sight ?
Pagi hari sesampainya di Kyoto, kami diturunkan dari bus di depan Stasiun Kyoto dan disambut cuaca mendung dan sedikit gerimis. Setelah mendapat sambutan hangat, makan pagi dan menitipkan tas koper di Kyoto Hana Hostel, kami segera menuju Kinkakuji Temple dengan menggunakan Kyoto City Bus, dan dilanjutkan ke Ginkakuji Temple.
Perjalanan sedikit terganggu karena di sore hari hujan turun lebat dan lalu lintas di tengah kota macet total karena ada aktifitas unjuk rasa di daerah Kawaramachi, terpaksa kami merubah jadwal ke tempat selanjutnya untuk dialihkan esok hari.
Fushimi Inari Taisha ( 伏見稲荷大社 ) adalah tujuan pertama kami pada tanggal 08 Maret 2015. Tempat pemujaan dewa Inari dimana terdapat jajaran gerbang merah (Senbon Torii) sumbangan dari para penganut nya. Hari itu, kuil ini cukup ramai didatangi para turis lokal dan luar negeri, dan sepertinya juga sedang ada acara jalan sehat dengan mengitari kompleks kuil. Awal hari yang sibuk.
Dari Fushimi, kami menuju Kiyomizudera Temple (Kanji), kompleks kuil yang terkenal dengan bangunan tanpa paku dan berusia sangat tua itu. Sesampainya disana ternyata sudah penuh dengan lautan wisatawan baik dari berbagai negara dan domestik. Baru kami sadari bahwa hari itu adalah hari Minggu, tentu saja akan sangat ramai sekali. Tapi perasaan kecewa hilang dengan semaraknya beberapa wisawatan lokal dan manca negara yang berpakaian yukata hilir-mudik disekitaran kuil. Amazing!
Dari kompleks Kiyomizudera, kami turun melalui jalan kecil kuno bernama Sannen-zaka dan Ninen-zaka. Jalan kecil yang bersih dan asri itu berderet toko-toko bersejarah yang dimana beberapa diantaranya menjual merchandise dan jajanan unik khas Kyoto. Uniknya, jalan kecil atau bisa disebut path itu, diramaikan dengan beberapa wisatawan wanita yang menggunakan baju yukata, dan para prianya juga memakai baju tradisional yang saya lupa nama nya, mungkin ada yang tahu?
Menjelang sore, kami tutup wisata kami ke area Gion, dekat Shijo Avenue dimana sebuah jalan kecil yang sangat terkenal di Kyoto karena dipenuhi deretan toko, restoran dan rumah teh (Ochaya) model kuno. Tempat ini adalah wajib dikunjungi bagi para pelancong terutama dari luar negeri. Anda dianggap belum pernah ke Kyoto jika tidak menginjakkan kaki di Gion, mungkin.
Selain itu di Gion juga banyak dijumpai Geiko (Geisha) dan Maiko yang menjalankan tugas menghibur tamu-tamu di restoran sekitar area tersebut. Sayang kami gagal untuk mendapatkan penampakan mereka disana, mungkin trip ke Jepang selanjutnya, Amin.
Benri Pass
Hari terakhir kami sempatkan untuk berkeliling ke area Arashiyama yang terkenal dengan Togetsukyo Bridge dan Bamboo Grooves nya. Untuk perjalanan hari ini, kami memanfaatkan JR West Rail Pass yang kami beli dari H.I.S Tours and Travel dan ditukarkan di JR Office di Stasiun Kyoto. Benri! bahasa Jepang yang artinya praktis, katakata yang cocok untuk tiket tersebut, sangat berguna bagi turis mancanegara seperti kami
ini.
Karena penerbangan Air Asia kembali ke Kuala Lumpur pada jam 23.30 malam hari, maka kami rencanakan untuk mampir sebentar di kota Osaka. Kereta Limited Express Haruka dari Stasiun Kyoto tujuan Bandara Internasional Kansai (KIX) berhenti sebentar di Stasiun Shin-Osaka, itu peluang kami menginjakan kaki di kota Osaka. Dari Shin-Osaka kami lanjutkan ke Stasiun Namba dengan sebelumnya menitipkan tas koper kami di Luggage Room.
Stasiun Namba sangat dekat dengan pusat keramaian Dotonbori yang terkenal akan papan iklan neon “Glico Runner” nya. So, kami berputar-putar sebentar di jalur arcade Shinsaibashi yang berada di area tersebut. Dibandingkan dengan Tokyo dan Kyoto yang menurut saya konservatif, dandanan muda-mudi Osaka lebih berwarna bahkan cenderung sedikit berani untuk memadukan warna-warna yang tidak lazim. Seperti nya sedikit ada persaingan dengan mode fashion dari ibu kota.
Hujan turun cukup deras, untung saja sepanjang arcade Shinsaibashi tertutup oleh atap yang lebar, jadi para pengunjung sama sekali tidak kebasahan. Untuk memenuhi hasrat belanja Dwita, kami mencari toko yang pas untuk membeli penganan sekaligus oleh-oleh, dan tujuan kami adalah Daiso di Shinsaibashi, toko swalayan serba 100 yen yang terkenal dari Jepang.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00, waktunya kami harus bergegas ke Bandara Internasional Kansai untuk pulang ke tanah air. Kembali ke Stasiun Shin-Osaka, dan kami pun segera menaiki kembali kereta Limited Express Haruka. Untuk informasi, kereta ini bisa kami naiki dengan menggunakan JR West Rail Pass tadi, tetapi dengan kondisi perjalanan satu arah saja, tidak dapat digunakan jika dipakai untuk kembali ke Kyoto.
Bandara Internasional Kansai sangat mewah dan besar, kami tidak habis berdecak kagum. Mungkin jika di Asia Tenggara hanya Bandara Udara Changi Singapura yang mampu menandingi. Setelah kenyang makan malam dan tidur-tiduran di ruang tunggu, akhirnya panggilan boarding Air Asia diumumkan. Ada perasaan sedih juga untuk meninggalkan negara indah tersebut, tapi bagaimanapun juga Ibu Pertiwi selalu menjadi bagian sanubari kami. Sayonara Nippon, matta kimasu ne!
Buat kalian yang ingin diliput foto private tour kalian di luar negeri, sila apa yang kita lakukan di postingan ini ya, jangan lupa kontak kita ?.